home

Monday, February 7, 2011

spirit hidup peppy adi yoshep

PEPHY Nengsi Golo Yosep, anak Poso yang jadi pejuang bagi kalangan penderita penyakit kusta. Suatu hari ia berkeliling Kota Makassar dan melihat banyak pengemis yang menderita kusta. Ia kasihan. Jiwa sosialnya muncul. Dan sejak 2005 silam ia pun membulatkan tekad mendedikasikan hidupnya di perkampungan kusta di Jongaya. OLEH: MUHAMMAD NURSAM PAKAIANNYA sederhana. Kemeja krem dengan jeans biru tua. Tanpa anting sebagaimana perempuan dewasa pada umumnya, ia makin tampak sederhana. Apalagi rambutnya yang hanya berhias tali pengikat. Jumat, 4 Februari, perempuan itu tiba-tiba muncul di redaksi FAJAR. Dia, Pephy Nengsi Golo Yosep. Nama Yosep diambil dari nama suaminya, Adi Yosep. Siang itu, Adi mendampi istrinya bersama seorang dokter yang membidangi penyakit kusta. "Kusta bagi sebagian masyarakat dianggap penyakit menakutkan," kata Pephy membuka perbincangan. Namun anggapan itulah yang mendorongnya memutuskan menjadi seorang volunter atau sukarelawan bagi penderita penyakit kusta. Stigma masyarakat tentang penyakit kusta yang kemudian penghambat pelaksanaan program pencegahan penyakit kusta di daerah ini, membuatnya tertantang. Ia terdorong untuk berbuat sesuatu demi penanggulangan penyakit dan pemberdayaan mereka yang kurang beruntung. Peppy, sapaannya, menuturkan, dia telah menjadi volunter bagi penderita penyakit ini sejak tahun 2005. Selama tiga tahun lebih dia mendampingi para penderita kusta di perkampungan Jongaya. Di perkampungan kusta tersebut, Peppy bertugas untuk pemberdayaan sosial ekonomi bagi para penderita kusta. Ia pun menjadi spirit hidup bagi masyarakat penderita kusta di sana. "Awalnya saya hanya diajak oleh kakak saya," bebernya. Kusta merupakan penyakit yang cukup menakutkan bagi masyarakat. Ia tak menampik itu. Bahkan menurut wanita berkacamata ini, ketakutan seperti itu juga sempat menghinggapinya saat pertama kali berbaur dengan penderita. "Namun karena merasa terpanggil, saya pun menjadi seorang volunter," ujarnya. Tekadnya yang bulat menjadi aktivis sosial mendapat jalan ketika pada tahun 2009, dia dikontrak oleh Netherlands Leprosy Relief (NLR) Indonesia. Tugasnya ketika itu membantu memberi pendampingan bagi orang yang mengalami atau pernah terjangkit penyakit ini. Mendapat sokongan dari NLR, Peppy makin giat memerangi penyakit ini. Menurut Peppy, kusta memang penyakit menular. Namun penularannya tidak segampang penyakit kulit lain. Jika penderita yang mengalami kusta terlambat ditangani, maka memang penderita akan mengalami gangguan fungsi saraf atau kecacatan. Tapi jika bisa diobati dini, efeknya tidak akan demikian mengerikan. "Jika diobati dini dan secara tepat, mereka tidak akan mengalami masalah serius. Tapi memang yang terjadi, masyarakat banyak yang salah persepsi terhadap penderita penyakit ini. Penderita juga kadang enggan melaporkan kondisi dirinya. Inilah salah satu kendala kami," ungkapnya. Tapi Peppy tak pernah putus asa. Ia terus berusaha membantu dan menyadarkan mereka yang salah penafsiran soal penyakit ini. Ia juga coba meluruskan anggapan bahwa penyakit kusta adalah penyakit kutukan. Baginya, penyakit kusta jangan dianggap sebagai penyakit kutukan dari Tuhan. Dia juga menegaskan bahwa penyakit ini bukan penyakit turunan. Stigma negatif dan diskriminasi menurut Peppy harus disetop. Sebab pada dasarnya, penderita kusta bisa diberdayakan. "Penemuan penderita kusta sedini mungkin dan pengobatan yang tuntas dapat mencegah timbulnya kecacatan. Makanya setop stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang pernah mengalami kusta. Pemberdayaan terhadap mereka memberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam masyarakat," katanya di ujung perbincangan dengan FAJAR. Sumber:fajar.co.id

No comments:

Post a Comment